Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kotak-kotak kebudayaan (culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi di Amerika, bermula dari reaksi terhadap suatu upaya rekonstruksi "memory culture". Kajian enkulturasi kebudayaan berawal dari Inggris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan masalah-masalah praktis di daerah penjajahan; juga faktor utama yang menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika perkembangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise).
PENGERTIAN ENKULTURASI
Definisi enkulturasi yang sistematik, pertama kalinya dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936): "Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patters of either or both groups".
Menurut Koentjaraningrat proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat istiadat, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang.
Enkulturasi dalam istilah bahasa indonesia diartikan “pembudayaan”. Dalam bahasa inggris istilah enkulturasi disebut “institutionalization”. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
PROSES ENKULTURASI
Proses Enkulturasi. Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada mereka ditunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak mempelajari norma-norma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Kadang-kadang, orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang.
Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula. Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi diajarkan di sekolah-sekolah formal.
Imran Manan, PhD, (1989; 9) menyebutkan enkulturasi dalam arti luas, pendidikan termasuk ke dalam proses umum, di mana seseorang anak bertumbuh diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakatnya. Pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetic, yang menolong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan bertindak yang baru dalam perubahan besar dalam hidup kita. Dalam arti sempit pendidikan, adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dalam menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).
Contohnya, orang Indonesia mempelajari aturan adat Indonesia yang menganjurkan orang agar kalau bepergian ke tempat yang jauh, kembalinya membawa oleh-oleh untuk teman, tetangga, atau saudara. Hal ini dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan gotong royong yang merupakan motivasi dari tindakan tersebut, telah sejak lama, ketika ia masih kecil, diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dalam rangka proses sosialisasinya itu ia telah belajar cara-cara untuk bergaul dengan tiap individu dalam lingkungan kaum kerabat dan tetangga dekatnya tadi, dan ia telah mengembangkan pola-pola tindakan yang berbeda dalam hal menghadapi mereka masing-masing. Norma sopan santun memberi oleh-oleh tadi dibudayakan berdasarkan ajaran mengenai sopan santun pergaulan langsung dari orang tuanya, dan walaupun ia telah yakin sepenuhnya bahwa adat itu adalah benar dan bermanfaat, namun ada satu dua diantara mereka tidak diberikan oleh-oleh, karena hubungan pergaulanya dengan orang-orang tersebut bukan berwujud pola-pola tindakan serba ramah, melainkan canggung dan kaku.
Proses enkulturasi ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Dalam masyarakat, anak kecil tersebut belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak.
Seseorang yang mengalami hambatan dalam proses enkulturasi (pembudayaan) akan berakibat kurang baik. Setiap individu yang mengalami hambatan tersebut apabila dihadapkan pada situasi yang berbeda, kelihatan akan canggung dan kaku dalam pergaulan hidupnya. Akibatnya, individu tersebut cenderung untuk menghindari norma-norma dan aturan-aturan dalam masyarakat. Hidupnya penuh konflik dengan orang lain. Individu yang mengalami hal itu disebut deviants.
Belum lama berselang para ahli antropologi kurang memperhatikan faktor deviants ini dalam masyarakat dan kebudayaan yang menjadi objek penelitian mereka. Mereka hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat umum saja dalam suatu kebudayaan, ialah apa yang lazim dilakukan oleh sebagian besar dari manusia dalam kebudayaan itu, penyimpangan yang tidak menurut adat yang lazim diabaikan saja. Sekarang banyak ahli antropologi telah mengerti bahwa penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor yang penting, karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan yang positif maupun negatif.
Kejadian masyarakat yang positif adalah perubahan kebudayaan, atau culture change, yang menjelma kedalam perubahan serta pembaruan dalam adat istiadat yang kuno. Kejadian masyarakat yang negatif misalnya adalah berbagai ketegagan masyarakat yang menjelma menjadi permusuhan antar golongan, adanya banyak penyakit jiwa, banyaknya peristiwa bunuh diri dan sebagainya, atau kerusakan masyarakat yang menjelma menjadi kejahatan dan demoralisasi dan sebagainya.
PROSES ENKULTURASI KEBUDAYAAN
Pendidikan di sekolah hanya merupakan salah satu alat enkulturasi - pendidikan yang lain, mencakup keluarga, masyarakat, kelompok sebaya dan media masa masing-masing dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya sendiri. Demikian pula pendidik mungkin ingin menanamkan kualitas tertentu pada anak-anak, seperti berpikir bersih dan pertimbangan bebas, namun pendidik terbatas kesanggupan untuk berbuat demikian karena kenyataannya badan-badan lain mungkin membentuk anak secara berbeda. Televisi, umpamanya, kadang-kadang berusaha memberi informasi, tetapi kebanyakan TV memberi hiburan, kadang-kadang sensasi, dan secara tetap "menjualkan" melalui insinuasi, penonjolan, dan bujukan.
Conny R. Semiawan (2007) menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan "proses membebaskan diri", di mana insan manusia memperoleh peluang mengaktualisasi diri secara optimal "to become what he is capable of", suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan kemampuan manusia (human capacity development, HCD). Pernyataan ini menggaris bawahi bahwa pendidikan membantu manusia untuk merubah dan mengembangkan dirinya serta meng-enkulturasi diri bukan meng-diisolasikan diri.
Proses enkulturasi kebudayaan terdapat beragam pendapat, apakah enkulturasi merupakan; ;continous first-hand contact"; groups of individuals; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan a process or a condition. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan "Sistem nilai budaya dalam kebudayaan" dari semua kebudayaan yang ada di dunia. Kerangka ini telah dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kulkckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh istrinya Florence Kulkckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in value Orientation, yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli sosiologi bernama F.L. Strodtbeck.
Kerangka Kulkckhohn dapat dilihat pada tabel berikut ini;
Masalah dasar dalam hidup | Orientasi Nilai- budaya | ||
Hakekat hidup (MH) | Hidup itu buruk | Hidup itu baik | Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik |
Hakekat karya (MK) | Karya itu untuk nafkah hidup | Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya | Karya itu untuk menambah karya |
Persepsi Manusia tentang waktu (MW) | Orientasi ke masa depan | Orientasi ke masa lalu | Orientasi ke masa depan |
Pandangan manusia tentang alam (MA) | Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat | Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam | Manusia berhasrat menguasai alam |
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya (MM) | Orientasi kolateral(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong) | Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat | Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri |
Menurut Koentjaraningrat (1994) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
PERBEDAAN ENKULTURASI DENGAN SOSIALIASI
Enkultrasi dan sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang individu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Perbedaan antara Enkulturasi dan Sosialisasi menurut M.J.Herskovits adalah sebagai berikut :
1. Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun
tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.
2. Socialization (sosialisasi) adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
REFERENSI
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi jilid 1. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar